MATERI LENGKAP PERDARAHAN PERVAGINAM








BAB II
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tidak sedikit wanita hamil mengalami perdarahan. Kondisi ini terjadi di awal masa kehamilan (trimester pertama), tengah trimester (trimester kedua), atau bahkan padamasa kehamilan tua (trimester ketiga). Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai suatu kelainan yang berbahaya (Sarwono, 2013).
Ibu hamil yang mengalami perdarahan perlu segera di periksa untuk mengetahui agar bisa dilakukan solusi medis yang tepat untuk menyelamatkan kehamilan. Ada kalanya kehamilan bisa di selamatkan, namun tidak jarang yang gagal. Pemeriksaan yang di lakukan meliputi pemeriksaan kandungan disertai dengan pengajuan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan terjadinya perdarahan. Bila perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi atau USG dan pemeriksaan laboratorium (Bobak, 1995).
Banyak sekali komplikasi yang terjadi pada masa kehamilan lanjut (trimester ketiga) dalam hal ini perdarahan antepartum, masih merupakan penyebab kematian ibu yang utama. Oleh karena itu, sangat penting bagi bidan mengenali tanda bahaya yang terjadi pada penderita agar dapat memberikan asuhan kebidanan yang baik dan benar, sehingga angka kematian ibu yng disebabkan perdarahan menurun (Pusdiknakes, 2003).


B.     Rumusan masalah
                                                                                       
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun masalah yang muncul adalah sebagai berikut :
1.         Apa pengertian dariperdarahan pervaginam?
2.         Apa saja tanda bahaya kehamilan lanjut?
3.         Bagaimana penanganan dari perdarahan pervaginam?


C.    Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah, untuk :
1.      Untuk mengetahui pengertian dari perdarahan pervaginam
2.      Untuk mengetahui tanda bahaya kehamilan lanjut
3.      Untuk mengetahui bagaimana penanganan dari perdarahan pervaginam

D.    Manfaat
1.      Bagi Pelajar
Dengan adanya makalah ini, bisa mendapatkan informasi tentang komplikasi kehamilan terutama mengenai tanda bahaya kehamilan lanjut, khususnya pada pervaginam.
2.      Bagi Pengajar
Dengan adanya makalah ini, dapat mengajari siswinya mengenai antisipasi dan penanganan dalam kasus perdarahan pervaginam, sehingga ikut menurunkan angka kematian ibu.
3.      Bagi Bidan
Dengan adanya makalah ini, agar para bidan bisa lebih mahir lagi dalam penanganan kasus perdarahan pada komplikasi kehamilan lanjut, sehingga angka kematian ibu di indonesia menurun









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Dasar Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut
1.      Definisi Perdarahan pervaginam
Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan di atas 28 minggu atau lebih. Karena perdarahan antepartum terjadi pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu maka sering disebut atau digolongkan perdarahan pada trimester ketiga (Manuaba, 2005).
Perdarahan pervaginam  pada kehamilan lanjut terjadi setelah kehamilan 28 minggu. Perdarahan antepartum dapat  berasal dari kelainan plasenta (plasenta previa, solusio plasenta atau perdarahan yang belum jelas sebabnya) dan bukan dari kelainan plasenta (erosi, polip, varises yang pecah) (Sarwono, 2010).
Perdarahan pervaginam pada kehamilan lanjut disebut juga dengan perdarahan antepartum/haemorrhage antepartum (HAP) yaitu perdarahan dari jalan lahir setelah kehamilan 22 minggu dan adapun frekuensi HAP adalah 3 % dari semua persalinan (Saifuddin, 2010).

2.      Pengelompokan Perdarahan Antepartum
Pengelompokan perdarahan anteparum menurut buku Ilmu Kesehatan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencanadibedakan atas perdarahan yang ada hubungannya dengan kehamilan dan perdarahan yang tidak ada hubungan dengan kehamilan, dengan penjelasan :
1)      Perdarahan yang ada hubungannya dengan kehamilan.
a.    Plasenta Previa
b.    Solusio Plasenta
c.    Perdarahan pada plasenta letak rendah
d.   Pecahnya sinus marginalis
e.    Pecahnya vasa previa


2)      Perdarahan yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan
a.    Pecahnya varises vagina
b.    Perdarahan polipus servikal atau endometrium
c.    Perdarahan perlukaan servik
d.   Perdarahan karena keganasan serviks

3.      Diagnosis perdarahan antepartum
Adapun diagnosis perdarahan antepartum menurut Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal adalah sebagai berikut :
Gejala dan tanda utama
Faktor predisposisi
Penyulit lain
Diagnosis
·      Perdarahan tanpa nyeri, usia gestasi >22 minggu
·      Darah segar atau kehitaman dengan bekuan
·      Perdarahan dapat terjadi setelah miksi atau defekasi, aktivitas fisik, kontraksi Braxton Hicks atau koitus
·      Grande multipara
· Syok
· Perdarahan setelah koitus
· Tidak ada kontraksi uterus
· Bagian terendah janin tidak masuk PAP
· Kondisi janin normal atau terjadi gawat janin.
Plasenta Previa
·      Perdarahan dengan nyeri intermiten atau menetap
·      Warna darah kehitaman dan cair, tetapi mungkin ada bekuan jika solutio relatif baru
·      Jika ostium terbuka, terjadi perdarahan berwarna merah segar
·  Hipertensi
·  Versi luar
·  Trauma abdomen
·  Polihidramnion
·  Gemeli
·  Defisiensi gizi
· Syok tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar (tipe trsmbunyi)
· Anemia berat
· Melemah atau hilangnya gerak janin
· Gawat janin / hilangnya DJJ
· Uterus tegang dan nyeri
Solusio Plasenta
·    Perdarahan intaabdominal dan/atau vaginal
·    Nyeri hebat sebelum perdarahan dan syok, yang kemudian hilang setelah terjadinya regangan hebat pada perut bawah (kondisi ini tidak khas)
·   Riwayat SC
·   Partus lama/kasep
·   Disproporsi kepala/fetopelvik
·   Kelainan letak/presentasi
·   Persalinan traumatik
· Syok atau takhikardia
· Adanya cairan bebas intraabdominal
· Hilangnya gerak dan DJJ
· Bentuk uterus abnormal atau konturnya tidak jelas
· Nyeri raba/tekan dinding perut dan bagian2 janin mudah dipalpasi
Ruptura Uteri
·    Perdarahan berwarna merah segar
·    Uji pembekuan daraah tidak menunjukkan adanya bekuan darah setelah 7 menit
·    Rendahnya faktor pembekuan darah, fibrinogen, trombosit, fragmentasi sel darah merah
·   Solusio plasenta
·   Janin mati dalam rahim
·   Eklampsia
·   Emboli air ketuban
·   Perdarahan gusi
·   Gambaran memar bawah kulit
·   Perdarahan dari tempat suntikkan dalam jarim infus
Gangguan pembekuan darah




B.     Tanda Bahaya Kehamilan Lanjut
Perdarahan setelah kehamilan 22 minggu biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya dari pada sebelum kehamilan 22 minggu. Pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta, karena perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta, sedangkan kelainan serviks tidak seberapa bahaya (Varney, 1997). Adapun jenis-jenis perdarahan antepartum menurut pengelompokan perdarahan yang ada hubungannya dengan kehamilan (Manuaba, 2005) adalah sebagai berikut :
a)      PLASENTA PREVIA
Perdarahan Obstetrik yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga dan yang terjadi setelah anak atau plasenta lahir pada umumnya adalah perdarahan yang berat, dan jika tidak mendapat penanganan yang cepat bisa mendatangkan syok yang fatal. Salah satu sebabnya adalah plasenta previa (Sarwono, 2010).
1.      Definisi
Placenta previa berasal dari kata “prae” yang berarti di depan, dan “vias” yang berarti jalan. Placenta previa adalah placenta yang berimplantasi pada Segmen Bawah Rahim (SBR) sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu. Placenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan dnegan paritas tinggi dan pada usia di atas 30 tahun. Sejalan dengan bertambah besarnya rahim dan meluasnya SBR ke arah proksimal memungkinkan placenta yang berimplantasi pada SBR ikut berpindah mengikuti perluasan SBR seolah placenta tersebut bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam persalinan kala I bisa mengubah luas pembukaan serviks yang tertutup oleh placenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari placenta previa ketika pemeriksaan dalam masa antenatal maupun intranatal, baik dengan pemeriksaan USG maupun digital (Sarwono, 2010).
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi ostium uteri internal. Tanda dan gejalanya adalah perdarahan tanpa nyeri atau perdarahan dengan awitan mendadak. Penanganannya adalah dengan terapi pasif yaitu jangan melakukan periksa dalam, lakukan USG, evaluasi kesejahteraan janin, rawat inap/ tirah baring atau terapi aktif dengan mengakhiri kehamilan (Varney, 1997).
2.      Klasifikasi
Klasifikasi dari placenta previa menurut Ilmu Kebidanan, Sarwono antara lain :
a.    Plasenta previa totalis/komplit, adalah placenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum.
b.     Placenta previa parsialis, adalah placenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum.
c.     Placenta previa marginalis, adalah placenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum.
d.   Placenta letak rendah, adalah placenta yang berimplantasi pada Segmen Bawah Rahim sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap plasenta letak normal.
3.      Etiologi
Faktor terpenting terjadinya plasenta previa adalah vaskularisasi yang kurang pada desidua sehingga menyebabkan atrofi dan peradangan pada endometrium. Keadaan ini misalnya terdapat pada :
·      Multipara, terutama kalau jarak kehamilan yang pendek
·      Pada mioma uteri
·      Kuretase yang berulang-ulang
Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta tumbuh atau berimplantasi mendekati atau menutupi ostium uteri internum untuk mencukupi kebutuhan janin. Implantasi plasenta pada segmen bawah rahim menyebabkan kanalis servikalis tertutup dan mengganggu proses persalinan dengan terjadinya perdarahan.
          Implantasi plasenta disebabkan oleh :
·           Endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi
·           Endometrium yang tipis sehingga diperlukan perluasan bagi plasenta untuk mampu memberikan nutrisi pada janin
·           Villi korealis pada korion leave yang persisten
4.      Patofisiologi
Placenta previa umumnya terjadi pada usia kehamilan lanjut (trimester ketiga) dan mungkin juga lebih awal, karena mulai terbentuknya SBR tapak placenta akan mengalami pelepasan. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi SBR maka placenta yang berimplantasi disana akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai rapak placenta. Begitu juga saat serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatatation) ada bagian tapak placenta yang terlepas. Lokasi laserasi tersebut akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan intervilus dari placenta (Sarwono, 2010).
Oleh karena pembentukan SBR itu, perdarahan pada placenta previa pasti akan terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak karena SBR dan serviks tidka mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal, akibatnya pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dnegan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan, kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta maka perdarahan akan berlangsung lebh banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan SBR berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan. Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri (Moschtar, 1998).
Pada placenta previa totalis, perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan karena SBR terbentuk lebih dulu pada bagian terbawah yaitu pada OUI. Sebaliknya placenta previa parsialis atau letak rendah, perdarahan baru terjadi saat mendekati atau mulai persalinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih banyak pada perdarahan berikutnya. Perdarahan pertama bisa terjadi pada kehamilan di bawah 30 minggu, tetapi kejadiannya lebih banyak pada kehamilan 34 minggu ke atas. Karena terletak dekat dengan OUI, maka perdarahan lebih mudah mengalir keluar rahim dan tidak terbentuk hematoma retro placenta. Dengan demikian sangat jarang terjadi koagulopati pada placenta previa (Sarwono, 2010).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding SBR yang tipis, mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblast, akibatnya placenta melekat lebih kuat pada dinding uterus. Labih sering terjadi placenta akreta, inkreta, dan perkreta, yang pertumbuhan vilinya bisa menembus ke buli-buli dan rektum bersama placenta previa. Placenta akreta dan inkreta lebih sering terjadi pada uterus yang sebelumnya mengalami SC. SBR dan serviks yang rapuh dan mudah robek karena kurangnya elemen otot yang terdapat disana. Dua kondisi ini berpotensi meningkatkan perdarahan pasca persalinan pada placenta previa, misalnya pada kala III karena placenta sukar terlepas dengan sempurna (retensio placenta), atau setelah uri lepas karena SBR tidak mampu berkontraksi dengan baik (JNPK-KR, 2008).
5.      Manifestasi Klinik
a.     Kehamilan 28 minggu atau lebih dengan perdarahan pervaginam yang sifatnya tidak nyeri, dan berupa darah segar. Hal ini disebabkan oleh perdarahan sebelum minggu ke-28 memberi gambaran yang tidak berbeda dari abortus, sedangkan perdarahan pada placenta previa disebabkan karena pergerakan antara placenta dengan dinding rahim
b.    Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak dan berhenti sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa sebab yang jelas sehingga berulang. Pada setiap pengulangan terjadi perdarahan yang banyak
c.     Timbulnya penyulit pada ibu yaitu anemia sampai syok dan pada janin dapat menimbulkan asfiksia sampai kematian janin dalam rahim
d.     Perdarahan terjadi karena serviks dan SBR pada placenta previa lebih rapuh dan mudah mengalami robekan
e.    Keadaan umum sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi
f.     Sering disertai dengan kelainan letak janin. Hal ini dipengaruhi oleh ukuran panjang rahim yang berkurang.
g.    Bagian terendah masih tinggi/tidak masuk PAP. Hal ini karena placenta terletak pada kutub bawah rahim, sehingga kepala tidak dapat mendekati PAP
h.    Bunyi jantung anak biasanya ada
i.      Teraba jaringan placenta
6.      Diagnosis Plasenta Previa
Diagnosis plasenta previa ditegakkan berdasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan khusus, dan pemeriksaan penunjang (Manuaba, 2005) :
a.    Anamnesa plasenta previa.
1)    Terjadi perdarahan pada kehamilan sekitar 28 minggu.
2)    Sifat perdarahan (tanpa rasa sakit terjadi secara tiba-tiba, tanpa sebab yang jelas, dapat berulang, perdarahan menimbulkan penyulit pada ibu maupun janin dalam rahim).
b.    Pada inspeksi dijumpai :
·       Perdarahan pervaginam encer sampai menggumpal.
·       Pada perdarahan yang banyak ibu tampak anemis.
c.    Pemeriksaan fisik ibu.
1)    Dijumpai keadan bervariasi dari keadaan normal sampai syok.
2)    Kesadaran penderita bervariasi dari kesadaran baik sampai koma.
3)    Pada pemeriksaan dapat dijumpai (tekanan darah, nadi, dan
 pernapasan meningkat; daerah ujung menjadi dingin; tampak   
 anemis).
d.   Periksaan khusus kebidanan
1)   Pemeriksaan palpasi abdomen (janin belum cukup bulan, tinggi fundus uteri sesuai dengan usia kehamilan, karena plasenta di segmen bawah rahim, maka dapat dijumpai kelainan letak janin dalam rahim dan bagian terendah masih tinggi).

2)   Pemeriksaan denyut jantung janin bervariasi dari normal sampai asfiksia dan kematian dalam rahim.
3)   Pemeriksaan dalam. Pemeriksaan dalam dilakukan di atas meja operasi dan siap untuk segera mengambil tindakan. Tujua
7.      Komplikasi
·         Pada Ibu
a.       Perdarahan pasca persalinan
b.      Syok hipovelmik
c.       Infeksi-sepsis
d.      Emboli udara (jarang)
e.       Kelainan koagulapati sampai syok
f.       Kematian
·         Pada anak
a.       Hipoksia
b.      Anemia
c.       Kematian
8.      Penatalaksanan
Perdarahan yang disebabkan oleh plasenta previa merupakan keadaan darurat kebidanan yang memerlukan penanganan dengan baik. Tindakan yang akan kita pilih tergantung dari faktor-faktor :
·      Jumlah perdarahan banyak/ sedikit
·      Keadaan umum ibu/ anak
·      Besarnya pembukaan
·      Tingkat placenta previa
·      Paritas
Adapun penanganannya dibedakan atas penanganan ekspektatif dan penanganan aktif/ terminasi adalah sebagai berikut :
1)   Penanganan ekspektatif
·      Keadaan umum ibu dan anak baik
·      Janin masih kecil
·      Perdarahan sudah berhenti atau masih sedikit sekali
·      Kehamilan < 37 minggu

2)   Penanganan aktif/ terminasi
Yaitu kehamilan harus segera di akhiri sebelum terjadinya perdarahan yang membawa maut, bila keadaan umum ibu dan anak tidak baik, perdarahan banyak, ada his, umur kehamilan lebih kurang 37 minggu, maka :
·      Persalinan dengan seksio caesarea
Segera melahirkan bayi dan plasenta memungkinkan uterus berkontraksi dan perdarahan dapat segera dihentikan, selain itu juga mencegah terjadinya laserasi serviks. Misalnya, pada penderita dengan perdarahan banyak, pembukaan kecil, nullipara dan tingkat plasenta previa yang berat.
·      Persalinan pervaginam
Dengan adanya penurunan kepala diharapkan dapat menekan plasenta pada tempat implantasinya didaerah terjadinya perdarahan selama proses persalinan berlangsung, sehingga bagian terbawah janin berfungsi sebagai tampon untuk mencegah perdarahan yang lebih banyak.

b)     SOLUSIO PLASENTA
Terdapat istilah untuk penyakit ini yaitu solutio placentae, abruptio placentae, ablatio placentae, dan accidental hemorrhage. Istilah atau nama lain yang lebih deskriptif adalah premature separation of the normally implanted placenta (pelepasan dini uri yang implantasinya normal). Bila terjadi pada kehamilan < 20 minggu gejala kliniknya serupa dengan abortus iminens (Sarwono, 2010).
1.    Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir (Sarwono, 2010).
Solutio plasenta adalah lepasnya plasenta dari tempat melekatnya yang normal pada uterus sebelum janin dilahirkan (Saifuddin, 2010)
Batasan solutio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebelum waktunya dengan implantasi normal pada kehamilan trimester ketiga. Terlepasnya plasenta sebelum waktunya menyebabkan akumulasi darah antara plasenta dan dinding rahim yangdapat menimbulkan gangguan-penyulit terhadap ibu maupun janin (Manuaba, 2005).
2.    Klasifikasi
Adapun pengklasifikasian dari solutio plasenta  menurut buku Ilmu Kebidanan Sarwono adalah sebagai berikut :
a.    Ruptura sinus marginalis  : Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja.
b.   Solusio plasenta parsialis : Plasenta terlepas lebih luas dari pada rupture sinus marginalis
c.    Solusio plasenta totalis  : Plasenta terlepas dari seluruh permukaan maternal.
3.    Etiologi
Solusio plasenta merupakan keadaan gawat kebidanan yang memerlukan perhatian karena penyulit yang ditimbulkan terhadap ibu maupun janin, dapun penyulit terhadap ibu dalam bentuk (Manuaba, 2005) :
·      Berkurangnya darah dalam sirkulasi darah umum
·      Terjadinya penurunan tekanan darah, peningkatan nadi dan pernapasan
·      Penderita tampak anemis
·      Dapat menimbulkan gangguan pembekuan darah, karena terjadi pembekuan intravaskular yang diikuti hemolisis darah sehingga fibrinogen makin berkurang dan memudahkannya terjadi perdarahan
·      Setelah persalinan dapat menimbulkan perdarahan postpartum karena atonia uteri atau gangguan pembekuan darah
·      Menimbulkan gangguan fungsi ginjal dan terjadi emboli yang menimbulkan komplikasi sekunder
·      Peningkatan akumulasi darah dibelakang plasenta dan menyebabkan rahim yang keras, padat, dan kaku
·      Penyulit terhadap janin dalam rahim, bergantung pada luas plasenta yang lepas dapat menimbulkan asfiksia ringan sampai kematian janin dalam rahim
Keadaan berikut merupakan faktor predisposisi/ pemicu timbulnya solusio plasenta adalah hamil pada usia tua, mempunyai tekanan darah tinggi, bersamaan dengan pre-eklamsia atau eklamsia, tekanan vena kava inferior yang tinggi, atau kekurangan asam folat. Adapun penyebab solusio plasenta, yaitu (Manuaba, 2005) :
a.    Trauma langsung terhadap uterus hamil
·      Terjatuh terutama telungkup
·      Tendangan anak yang sedang digendong
·      Atau trauma langsung lainnya
b.   Trauma kebidanan, artinya solusio plasenta terjadi karena tindakan kebidanan yang dilakukan ;
·      Setelah versi luar
·      Setelah memecahkan ketuban
·      Persalinan anak kedua hamil kembar
 c. Dapat terjadi pada kehamilan dengan tali pusat pendek

4.    Patofisiologi
Sesungguhnya solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili – vili korialis plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Oleh karena itu, patofisiologi bergantung pada etiologi. Pada trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah di desidua (Sarwono, 2010).
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis) yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat menyebabkan pembentuka thrombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam vascular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua barsalis terlepas kecuali lapisan tipis yang tetap melekat pada myometrium. Dengan demikian, pada tingkat permulaan sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematoma yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian plasenta sekelilingnya yang berdekatan. Pada awalnya mungkin belum ada gejala kecuali terdapat hematoma pada bagian belakang plasenta yang baru lahir. Dalam beberapa kejadian pembentukan hematoma retroplasenta disebabkan oleh putusnya arteri spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal atau plasenta ke sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta lebih luas atau banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes antara selaput ketuban dan myometrium untuk selanjutnya keluar melalui serviks ke vagina (revealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa berhenti, karena uterus yang lagi mengandung tidak mampu berkontrasi untuk menjepit pembuluh arteri spiralis yang terputus. Walaupun jarang, terdapat perdarahan tinggal terperangkat di dalam uterus (concealed hemorrhage). Terdapat beberapa keadaan yang secara teoritis dapat berakibat kematian sel karena iskemia dan hipoksia pada desidua yaitu (Sarwono,2010) :

a.     Pada pasien dengan koriomnionitis
b.     Kelainan genetic berupa defisiensi protein C dan protein S
c.     Pada pasien dengan penyakit trombofilia
d.    Keadaan hyperhomocysteinemia
e.    Nikotin dan kokain yang keduannya dapat menyebabkan vasokonstriksi
yang bisa menyebabkan iskemia dan pada plasenta sering dijumpai bermacam lesi seperti infark, oksidatif stress, apoptosis, dan nekrosis, yang kesemuanya ini berpotensi merusak hubungan uterus dengan plasenta yang berujung pada solusio plasenta.
5.    Manifestasi Klinik
Perdarahan yang terjadi dalam banyak kejadian akan merembes antara plasenta dan myometrium untuk seterusnya menyelinap dibawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kalis servikalis dan keluar melalui vagina (revealed hemorrhage). Akan tetapi, ada kalanya, walaupun jarang, perdarahan tersebut tidak keluar melalui vagina (concealed hemorrhage) jika :
a.    Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim.
b.   Selaput ketuban masih melekat pada dinding Rahim.
c.    Perdarahan masuk kedalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah karenanya.
d.   Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen bawah Rahim.
Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas (Manuaba, 2005), yaitu :
1)   Solusio plasenta ringan :
·       Terlepasnya plasenta kurang dari ¼ luasnya
·       Tidak memberikan gejala klinik dan ditemukan setelah persalinan
·       Keadaan umum Ibu dan janin tidak memiliki gangguan
·       Persalinan berjalan dengan lancar pervaginam
2)   Solusio plasenta sedang :
·       Terlepasnya plasenta lebih dari ¼ , tetapi belum mencapai 2/3 bagian
·       Dapat menimbulkan gejala klinis, antara lain ;
-   Perdarahan dengan rasa sakit
-   Perut terasa tegang
-   Gerak janin berkurang
-   Palpasi bagian janin sulit diraba
-   Askultasi jantung janin dapat terjadi asfiksia ringan dan sedang pada pemeriksaan dalam ketuban menonjol
-   Dapat terjadi gangguan pembekuan darah
3)   Solusio plasenta berat :
·      Lepasnya plasenta lebih dari 2/3 bagian
·      Terjadi perdarahan disertai rasa nyeri
·      Penyulit pada ibu
-   Terjadi syok dengan tekanan darah menurun, nadi dan pernapasan meningkat
-   Dapat terjadi gangguan pembekuan darah
-   Pada pemeriksaan dijumpai turunnya tekanan darah sampai syok, tidak sesuai dengan perdarahan dan penderita tampak anemis
-   Pemeriksaan abdomen tegang, bagian janin sulit diraba; dinding perut terasasakit; dan janin telah meninggal dalam rahim
-   Pemeriksaan dalam ketuban tegang dan menonjol
-   Solusio plasenta berat dengan Couvelaire uterus terjadi gangguan kontraksi dan atonia uteri
6.    Diagnosis Solusio Plasenta
Diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan dengan melakukan (Manuaba, 2005) :
1)   Anamnesa; terdapat perdarahan disertai rasa nyeri, terjadi spontan atau karena trauma, perut terasa nyeri diikuti penurunan sampai terhentinya gerakan janin dalam rahim.
2)   Pemeriksaan
·      Pemeriksaan fisik umum : Keadaan umum penderita tidak sesuai dengan jumlah perdarahan, tekanan darah menurun, nadi dan pernapasan meningkat, penderita tampak anemis.
·      Pemeriksaan khusus : Palpasi abdomen (perut tegang terus-menerus, terasa nyeri saat dipalpasi, bagian janin sukar ditentukan), auskultasi (denyut jantung janin bervariasi dari asfiksia ringan sampai berat), pemeriksaan dalam (terdapat pembukaan, ketuban tegang dan menonjol).
3)   Pemeriksaan penunjang : Dengan ultrasonografi, dijumpai perdarahan antara plasenta dan dinding abdomen.
7.    Komplikasi
Komplikasi pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi adalah (Bobak, 1995) :
1)      Kelainan pembekuan darah
2)      Oliguria
3)      Gawat janin
4)      Kematian
5)      Perdarahan, perdarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah selesai, penderita belum bebas dari bahaya perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III dan kelainan pembekuan darah. Kontraksi uterus yang tidak kuat itu disebabkan ekstravasasi darah diantara otot-otot miometrium, seperti yang terjadi pada uterus couvelaire.
8.      Penatalaksanan
Dalam kasus solusio plasenta, adapun penatalaksanaan atau penanganan dari solusio plasenta adalah :
a.    Lakukan uji pembekuan darah. Kegagalan terbentuknya bekuan darah setelah 7 menit atau terbentuknya bekuan darah lunak yang mudah terpecah menunjukkan adanya koagulopati.
b.    Transfusi darah segar
Jika terjadi perdarahan hebat (nyata atau tersembunyi), lakukan persalinan segera.
c.    Seksio caesarea dilakukan, jika :
·      Janin hisup, gawat janin tetapi persalinan pervaginam tidak dapat dilaksanakan dengan segera (Pembukaan belum lengkap)
·      Janin mati tetapi kondisi serviks tidak memungkinkan persalinan pervaginam dapat berlangsung dalam waktu singkat
·      Persiapan, cukup dilakukan penanggulangan awal dan segera lahirkan bayi karena operasi merupakan satu-satunya cara efektif untuk menghentikan perdarahan
d.   Partus pervaginam dilakukan, apabila :
·      Janin hidup, gawat janin, pembukaan lengkap dan bagian terendah didasar panggul
·      Amniotomi (bila ketuban belum pecah) kemudian percepat kala II dengan ekstraksi forcep/ vakum
·      Janin telah meninggal dan pembukaan serviks lebih dari 2 cm
·      Lakukan amniotomi (bila ketuban belum pecah) kemudian akselerasi dengan 5 unit oksitosin dalam dextrose 5 % atau RL, tetesan diatur sesuai dengan kondisi kontraksi uterus
·      Setelah persalinan, gangguan pembekuan darah akan membaik dalam waktu 24 jam kecuali bila jumlah trombosit sangat rendah (perbaikan baru terjadi dalam 2-4 hari kemusian)
c)      RUPTURA UTERI
Keterlambatan rujukan dan libralisasi pemakaian pemicu persalinan (oksitosin, prostaglandin, dan yang sejenis) terutama diluar rumah sakit oleh mereka yang kurang meiliki kompetensi menambah kejadian robekan pada rahim terutama dalam persalinan (Sarwono, 2010).
1.      Definisi
      Ruptura uteri ialah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum (Sarwono, 2010).
      Ruptur uteri adalah robekan (diskontinuitas) dinding rahim yang terjadi saat kehamilan atau persalinan. Ruptur uteri bisa terjadi pada persalinan dan bisa pula terjadi pada kehamilan tua. Ruptur uteri yang terjadi pada persalinan adalah ruptur uteri spontan, ruptur uteri spontan terjadi karena gangguan mekanisme persalinan sehingga menimbulkan ketegangan segmen bawah rahim yang berlebihan, dan ruptur uteri traumatik, ruptur uteri ini terjadi karena adanya tindakan seperti ekstrasi forsep, ekstrasi vakum dan veri ektrasi. Sedangkan ruptur uteri yang terjadi pada kehamilan tua adalah ruptur uteri bekas luka uterus, ruptur ini terjadi spontan, terjadi bekas seksio sesarea dan bekas operasi pada uterus (Saifuddin, 2010).
2.      Klasifikasi
Menurut buku Ilmu Kebidanan Sarwono, klasifikasi ruptura uteri menurut sebabnya adalah sebagai berikut :
a.    Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil :
·      Pembedahan pada miometrium : seksio sesarea atau histerotomi, histerorafia, miomektomi yang sampai menembus seluruh ketebalan otot uterus, reseksi pada kornua uterus atau bagian interstisial, metoroplasti.
·      Trauma uterus koinsidental : Instrumentasi sendok kuret atau sonde pada penanganan abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau peluru, ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya (silent rupture in previous pregnancy).
·      Kelainan bawaan : kehamilan dalam bagian rahim (horn) yang tidak berkembang.
b.    Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan :
·      Sebelum kelahiran anak : his spontan yang kuat dan terus menerus, pemakaian oksitosin atau prostaglandin untuk merangsang persalinan, instilasi cairan ke dalam kantong gestasi atau ruang amnion seperti larutan garam fisiologik atau prostgalandin, perforasi dengan kateter pengukuran tekanan intrauterin, trauma luar tumpul atau tajam, versi luar, pembesaran rahim yang berlebihan misalnya hidramnion dan kehamilan ganda.
·       Dalam perode Intrapartum : versi-ekstraksi, ekstraksi cunam yang sukar, ekstraksi bokong, anomali janin yang menyebabkan distensi berlebihan pada segmen bawah rahim, tekanan kuat pada uterus dalam persalinan, kesulitan dalam melakukan manual plasenta.
·      Cacat rahim yang didapat : Plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia trofoblas gestasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidus inkarserata.
3.    Etiologi
Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang telah di seksio caesarea pada persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika uterus yang demikian dilakukan partus cobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitosin atau sejenisnya (Sarwono, 2010).
Pasien yang beresiko tinggi antara lain :
a.    Persalinan yang mengalami distosia
b.   Grandemultipara
c.    Penggunaan oksitosin atau prostglandin untuk mempercepat persalinan
d.   Pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah sesar atau operasi lain pada rahimnya
e.    Pernah histerorafia
f.    Pelaksanan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio sesarea, dan sebagainya
4.      Patofisiologi
Pada saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke bawah dan ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar karena dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik ke atas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin tidak dapat terdorong karena sesuatu sebab yang menahannya (misalnya panggul sempit atau kepala janin besar) maka volume korpus yang tambah mengecil pada saat his harus diimbangi oleh perluasan segmen bawah rahim ke atas. Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologi  semakin (physiologic retraction ring) semakin meninggi ke arah pusat melewati batas fisiologi menjadi patologi (pathologic retraction ring) lingkaran patologik ini di sebut lingkaran Bandl (ring van Bandl). Segmen bawah rahim terus menerus tertarik ke arah proksimal, tetapi tertahan oleh serviks dan his berlangsung kuat terus menerus tetapi bagin terbawah janin tidak kunjung turun ke bawah melalui jalan lahir, lingkaran retraksi makin lama semakin meninggi dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas sembari dindingnya sangat tipis hanya beberapa milimeter saja lagi. Ini  menandakan telah terjadi ruptur imminens dan rahim yang terancam robek pada saat his berikut berlangsung dindinng segmen bawah rahim akan robek spontan pada tempat yang tertipis dan terjadilah perdarahan. Jumlah perdarahan tergantung pada luas robekan yang terjadi dan pembuluh darah yang terputus (Sarwono, 2010).


5.      Manifestasi Klinik
Bila terjadi rupura uteri komplit sudah pasti ada perdarahan yang bisa dipantau pada Hb dan tekanan darah yang menurun, nadi yangcepat, dan kelihatan anemis dan tanda-tanda lain dari hipovolemia serta pernapasan yang sulit berhubungan nyeri abdomen akibat robekan rahim yang mengikutsertakan peritoneum viserale robek dan merangsang ujung saraf sensoris (Sarwono, 2010)
·      Pada palpasi ibu merasa sangat nyeri dan bagian tubuh janin mulai teraba di bawah dinding abdomen ibu dan kekuatan his yang sudah sangat menurun seolah dirasakan his telah hilang.
·      Pada auskultasi sering tidak terdengar  denyut jantung janin, tetapi jika janin belum meninggal bisa terdeteksi deselerasi patologik (deselerasi variabel yang berat) pada pemantuan dengan KTG
·      Pada dehisens di bekas seksio sesarea atau dehisens yang berlanjut menjadi ruptur rasa nyeri dan perdarahan tidak seberapa. Dalam keadaan yang demikian diperlukan konsultasi dengan sejawat yang lebih berpengalaman
·      Pada pemeriksaan dalam teraba bagian terbawah janin berpindah atau naik kembali keluar pintu atas panggul, dan jari-jari pemeriksa bisa menemui robekan yang berhubungan dengan rongga peritoneum dan melalui mana terkadang dapat meraba usus. Namun, harus hati-hai karena bila jari-jari tidak bisa menemui robekan belum berarti bahwa ruptura uteri tidak ada.
6.      Diagnosis Ruptura Uteri
Untuk menetapkan apakah ruptura itu komplit perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan dalam. Pada ruptura uteri komplit jari-jari tangan pemeriksa dapat melakukan beberapa hal sebagai berikut :
a.    Jari-jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding perut yang licin
b.    Dapat meraba pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di segmen bawah rahim
c.    Dapat memegang usus halus atau omentum melalui robekan
d.   Dinding perut ibu dapat di tekan menonjol keatas oleh ujung jari-jari tangan dalam sehingga ujung jari-jari tangan luar saling mudah meraba ujung jari-jari tangan dalam
7.      Komplikasi
Adapun komplikasi dari ruptura uteri menurut (Sarwono, 2010) disebabkan oleh syok hipovelmik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi adalah dua komplikasi yang fatal pada peristiwa ruptura uteri :
a.    Syok hipovelmik
·      Terjadi bila pasien tidak segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan tranfusi darah segar
·      Darah segar mempunyai kelebihan selain menggantikan darah yang hilang juga mengandung semua unsur atau faktor pembekuan
b.    Sepsis akibat infeksi
·      Terjadi pada pasien kiriman, dimana ruptura uteri telah terjadi sebelum tiba di rumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang
·      Tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang sesuai
·      Akan menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pascabedah
8.      Penatalaksanaan
a.         Segera atasi syok dan pasien dan pasien dipersiapkan secepatnya untuk laparotomi, pasang infuse cairan intravena ( NaCl 0,9% atau ringer laktat ) , pemberian darah, oksigen dan antibiotika ( biasanya golongan penisilin dengan dosis tinggi , diberikan sebelum dan setelah pembedahan )
b.        Untuk RUI ( Ruptura uteri imminens )
·      Hentikan / kurangi kontraksi rahim ( stop drip oksitosin jika pasien dalam akselerasi ), berikan oksigen 4-6 L/menit
·      Berikan analgetika yang reaksinya cepat ( misalnya ketoprofen suppositoria), sekaligus dapat berfungsi sebagai tokolitik ( antiprostaglandin )
·      Dapat diberikan tokolisis dengan hati-hati ( misalnya salbutamol bolus )
·      Melahirkan bayi secepatnya , bila memenuhi syarat diusahakan agar dapat melahirkan pervaginam dan bisa syarat tidak dapat terpenuhi dapat segera dilakukan seksio sesarea

C.  Penanganan umum perdarahan antepartum (Sarwono, 2010)
a.         MINTALAH BANTUAN, siapkan fasilitas tindakan gawat darurat.
b.         Lakukan pemeriksaan secara cepat keadaan umum ibu, termasuk tanda vital (nadi, tekanan darah, respirasi dan temeperatur).
c.         Jangan lakukan pemeriksaan dalam vagina pada tingkat ini.
d.        Jika dicurigai adanya syok, segera lakukan tindakan. Meskipun tanda-tanda syok belum terlihat, ingatlah bahwa saat anda melakukan evaluasi lebih lanjut kondisi ibu dapat memburuk dengan cepat. Jika terjadi syok, sangatlah penting untuk segera memulai penanganan syok.
BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
   Pada kehamilan lanjut yang tidak normal adalah merah, banyak, dan kadang-kadang. Tetapi, tidak selalu di sertai dengan rasa nyeri dan perdarahan pervaginam pada kehamilan lanjut terjadinya plasenta previa, solusio plasenta dan ruptura uteri       

B.     Saran
Sebaiknya ibu hamil harus lebih mengetahui keluhan-keluhan yang dihadapinya selama proses kehamilan berlangsung, terutama keluhan seperti nyeri pada perut bagian bawah, karena nyeri tersebut bisa menyebabkan terjadinya perdarahan. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan bagi setiap ibu hamil untuk sering berkonsultasi menanyakan tentang kehamilannya kepada Bidan atau Dokter.
Jika bidan menemukan ibu hamil dengan keluhan perdarahan pervaginam, maka :
·      Tanyakan pada ibu karakteristik perdarahannya, kapan mulai, seberapa banyak, apa warnanya, adakah gumpalan, dll.
·      Tanyakan pada ibu apakah ia merasakan nyeri/ sakit ketika mengalami perdarahan tersebut.
·      Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui penyebab perdarahan tersebut











DAFTAR PUSTAKA

Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. 1984. Obstetri Patologi.Bandung : Elstar Offset.

Bobak, Jansen. 2004. Keperawatan Maternitas. Jakarta :EGC
Manuaba , Ida Bagus Gde. 2005. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC

Mochtar Rustam, 1998, Sinopsis Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi Ed2.Jakarta:EGC
Prawiroharjo, Sarwono.2013. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

Pusdiknakes. 2003. Konsep Asuhan Kebidanan.WHO-JPHIEGO:Jakarta
Saifuddin, Abdul Bari,dkk. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.Jakarat : PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
Varney, Helen. 1997. Varney’s Midwifery. Massachussets : Jones and bartlett Publishers



Posting Komentar untuk "MATERI LENGKAP PERDARAHAN PERVAGINAM"